HanTer-Pengamat politik dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto, mengungkapkan ada indikasi atau dugaan korupsi dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, beberapa waktu lalu di AS.
Sebab, kata Arif, ada keterlibatan konsultan asing untuk melobi pemerintah AS dan mengabaikan peran Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam hubungan antar-negara seperti ditulis Michael Buhler, dimana Pereira International membayar R&R Partners sebesar USD80.000 untuk mengatur pertemuan Presiden Jokowi dan rombongan dengan sejumlah pembuat kebijakan di AS.
“Selain merendahkan kedaulatan nasional, hal tersebut berpeluang menjadi penyalahgunaan keuangan negara,” kata Arif saat dihubungi, Selasa (10/11/2015).
Kejanggalan lainnya, lanjutnya, pernyataan Menlu dan Menko Polhukam tidaklah memadai untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab itu, dia mendorong DPR RI terutama Komisi I untuk segera meminta penjelasan lebih lanjut dari menteri terkait. “Bahkan skandal ini membutuhkan bukan sekadar penyelesaian politik, para penegak hukum pun perlu aktif menyelidiki kemungkinan pelanggaran hukum,” ujarnya.
Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Jakarta itu, publik juga patut mempertanyakan dominasi Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan dalam mempersiapkan kunjungan Presiden Jokowi ke AS tersebut.
Tak hanya itu, Menko Polhukam bahkan terlalu sering terlibat dalam banyak persoalan yang sesungguhnya tidak termasuk dalam bidang kerjanya. “Ini mengindikasikan buruknya manajemen pemerintahan Jokowi, yang berdampak pada soliditas kabinet dan efektivitas kerja mereka,” ungkapnya.
Selain itu, dia menilai kunjungan itu mengabaikan isu-isu domestik penting seperti kebakaran hutan, dan hal itu tidak banyak menghasilkan kesepakatan penting yang menguntungkan Indonesia. “MoU tentang kerja sama maritim, kerja sama energi, dan kerja sama transportasi dikhawatirkan tidak memberi perimbangan yang konstruktif bagi kepentingan nasional,” tuturnya.
Pada sisi lain, dia mengaku heran bahwa Presiden Jokowi mengambil keputusan sepihak tanpa konsultasi dengan publik dan DPR tentang niat untuk bergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik. “Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa hal itu mungkin lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan Indonesia. Selanjutnya, Jokowi mesti melakukan konsultasi publik sebelum mengambil kebijakan krusial dan strategis semacam itu,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana berpandangan tudingan tersebut tanpa alasan dan tidak sesuai dengan fakta. Sebab, lanjutnya, bila mencermati apa yang disampaikan oleh Michael Buehler terkait artikelnya yang berjudul `Waiting in the White House Lobby` yang didasarkan pada dokumen Services Agreement antara Pareira International Pte Ltd dan R&R Partners, maka banyak yang tidak tepat informasi yang disampaikan yang digabung dengan ilmu mencocokkan.
Pertama, dalam dokumen itu tidak ada satu katapun yang merujuk pada Pemerintah Indonesia. Kedua, dokumen tersebut tidak menyebut bagaiamana hubungan antara Pareira International Pte Ltd dengan Pemerintah Indonesia namun Michael Buehler menyimpulkan bahwa dokumen ini seolah atas permintaan pemerintah Indonesia. “Padahal bisa saja Pareira International Pte Ltd disewa oleh pebisnis Indonesia,” sebut Hikmahanto.
Ketiga, rujukan terkait ruang lingkup kerja dari lobbyist (yang disebut dalam perjanjian sebagai konsultan) tidak merujuk pada pertemuan Presiden RI dengan Presiden AS. Sehingga, sebutnya, kemungkinan Michael Buehler merangkai artikelnya antara Services Agreement dengan informasi yang didapat dari berbagai pihak dari Indonesia. Atas dasar ini argumentasi yang hendak disampaikan adalah Presiden Jokowi tidak memegang kendali terhadap pemerintahan.
“Padahal apa yang disampaikan oleh Michael banyak spekulasinya dan bertentangan dengan norma diplomasi antar negara,” tukasnya.
Selain itu, paparnya, ada tiga hal yang perlu diluruskan dalam dugaan ini. Pertama, untuk kunjungan antar kepala pemerintahan dan kepala negara tidak dikenal `broker` untuk mempertemukan, semua diatur melalui chanel-chanel diplomatik dan pemerintahan.
Kedua, cerita tentang ketidak-harmonisan antara Menkopolhukam dan Menlu tidak didasarkan pada analisis ilmiah melainkan gosip-gosip politik yang mungkin didapat oleh Michael dari media dan teman-temannya di Indonesia.
Ketiga, adalah prematur bila Michael mengaitkan Pareira seorang WN Singapura yang mempunyai koneksi dengan para pejabat di Indonesia bahwa Pareira disewa oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, tegasnya, bila melihat Services Agreement tidak ada rujukan kata Pemerintah Indonesia. Untuk itu pemerintah Indonesia melalui Kedubes Indonesia di Inggris dapat meminta klarifikasi dari Michael.
“Klarifikasi ini bisa diminta melalui Universitas dimana Michael bekerja. Ini perlu dilakukan karena dapat mempengaruhi kredibilitas Universitas tersebut meski Michael mempunyai kebebasan akademik,” pungkasnya. Korupsi
Sabtu, 12 Desember 2015
korupsi